Komisi II Minta KPU Batalkan Sanksi Kuota Perempuan



Komisi II DPR mengkritik sanksi pembatalan pencalonan partai politik dalam daerah pemilihan tertentu untuk DPR dan DPRD jika tak memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan. Sanksi tersebut memang termaktub dalam Peraturan KPU No 7 Tahun 2013.
Alasan KPU mengatakan peraturan ini bersifat affirmative action, untuk mendorong peran perempuan dalam politik bisa betul-betul diraih partai politik memang benar adanya. Persoalannya ada pada sanksi pembatalan pencalonan di dapil tersebut jika partai tak memenuhi kuota.
Pada praktik verifikasi administrasi, KPU pusat dan daerah bisa memberi kesempatan parpol yang tidak memenuhi ketentuan 30 persen daftar bakal calon untuk memperbaiki daftar bakal calon tersebut. Kalaupun sudah memperbaiki, tapi tetap tak memenuhi sanksi pembatalan menunggu.
Sanksi yang diberikan KPU dengan menyatakan pada daerah pemilihan yang tidak terpenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30 persen perempuan maka semuanya dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) dan ditetapkan partai politik tanpa calon di dapil yang bersangkutan menjadi keliru.
Bentuk penilaian TMS hanya diberlakukan bagi syarat-syarat bakal calon. Soal persyaratan pencalonan parpol yang ada adalah melengkapi, memperbaiki atau mengganti dokumen. Karena sejak KPU menetapkan parpol peserta pemilu secara nasional, partai tersebut sudah dinyatakan memenuhi syarat peserta pemilu.
"Karenanya Komisi II DPR RI meminta agar KPU mengumumkan kepada publik mengenai terpenuhi atau tidaknya persyaratan yang dimaksud dengan tanpa saksi pembatalan," ujar Wakil Ketua Komisi II Arif Wibowo membacakan rekomendasi kepada KPU dalam RDP di DPR, Jakarta, Kamis (28/3/2013) malam.
Sejumlah anggota Komisi II mengaku riskan jika untuk menghindari sanksi pembatalan seperti digariskan KPU, partai politik dapat memenuhi seluruh kuota 30 persen di tiap pencalonan dari DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten atau Kota dengan asal memasukkan.
Seperti dipaparkan Yasonna Laoli. Politisi PDI Perjuangan ini meminta KPU memakai pendekatan sosiologis kultural dalam melihat implementasi 30 persen perempuan. Karena tidak semua daerah memiliki kultur yang sama soal keterlibatan perempuan dalam politik.
"Jadi kita harus melihat realitas sosiologis. Kalau hanya sekadar menumpangkan saja, kita tidak mendidik namanya. Semangat affirmative action yes, tapi semangat sosiologis soal kondisi Indonesia harus dipahami," terang Laoli.
Arif ikut mengkritisi soal sanksi KPU yang justru mencabut hak politik partai peserta pemilu. Mestinya, KPU cukup memberikan sanksi secara politik dan sosial seperti memberitahu publik daftar partai mana saja yang tidak memenuhi persyaratan kuota 30 persen.
Kalaupun sanksi TMS tetap dipaksakan, lanjut Arif, akan memaksa partai politik di berbagai tingkatan memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan secara asal-asalan. Ia meyakini tak semua partai niscaya memenuhi ketentuan tersebut karena realitas politik dan sosial.
"Pemenuhan bakal calon perempuan secara “asal-asalan” berpotensi menimbulkan konflik di internal tubuh partai, di samping itu pemenuhan kuota minimal cenderung akan diisi oleh bakal calon perempuan yang bukan kader serta pengurus partai," tukas Arif.
Selain itu, sedikitnya kader perempuan akan memicu petinggi parpol untuk memenuhi syarat tersebut secara tidak demokratik dengan memasukkan istri, anak perempuan, keluarganya dalam daftar calon dengan alasan pemenuhan syarat minimal kuota bakal calon perempuan. Ini akan merusak demokrasi.
"Disadari atau tidak oleh KPU, pengenaan sanksi TMS bakal calon satu daerah pemilihan ini berpotensi melanggar hak konstitusional bakal calon untuk dipilih dalam pemilu 2014. Sungguh tidak masuk akal, bagaimana mungkin bakal calon yang tidak bersalah, dikenakan hukuman pembatalan," tegasnya.



Blog Ini Didukung Oleh :


0 comments:

Post a Comment