KPK Periksa Kwik Kian Gie Secara Rahasia
JAKARTA - Kasus
korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mencuat tahun
1997, kini dibuka kembali. Pembukaan awal, dengan meminta keterangan
mantan menteri koordinator perekonomian Kwik Kian Gie. “Kwik Kian Gie
dimintai keterangan karena pemberian SKL (Surat Keterangan Lunas),” kata
Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Selasa (2/4).
Sekitar pukul 10.00 WIB, mantan politisi PDIP datang ke gedung KPK.
Selama hampir 9 jam, mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional era Presiden Megawati dimintai keterangan KPK. “No comment.
Undangannya rahasia, pertanyaannya juga rahasia. Jadi betul-betul
rahasia,” kata Kwik yang murah senyum sambil menuju mobil Alfard putih.
Setelah masuk mobilnya, Kwik tetap tidak mau menjawab
pertanyaan-pertanyaan lain yang dilontarkan wartawan. Para pewarta foto
masih mencoba mengambil gambar Kwik, tapi petugas keamanan KPK langsung
bergegas menutup pintu mobil Kwik.
Pada 11 Juli 1997, Pemerintah Indonesia memperluas rentang intervensi
kurs dari 192 (8 persen) menjadi 304 (12 persen), dengan melakukan
pengetatan likuiditas dan pembelian surat berharga pasar uang, serta
menerapkan kebijakan uang ketat.
Pada 14 Agustus 1997, Pemerintah melepas sistem kurs mengambang
terkendali (free floating). Masyarakat panik, lalu berbelanja dolar
dalam jumlah sangat besar. Setelah dana pemerintah ditarik ke Bank
Indonesia, tingkat suku bunga di pasar uang dan deposito melonjak
drastis karena bank-bank berebut dana masyarakat.
1 September 1997, Bank Indonesia menurunkan suku bunga SBI sebanyak
tiga kali. Berkembang isu di masyarakat mengenai beberapa bank besar
yang mengalami kalah kliring dan rugi dalam transaksi valas.Kepercayaan
masyarakat terhadap bank nasional mulai goyah. Terjadi rush
kecil-kecilan.
Pada 3 September 1997, Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi,
Keuangan, dan Pembangunan serta Produksi dan Distribusi berlangsung di
Bina Graha dipimpin langsung oleh Presiden Soeharto. Hasil pertemuan:
pemerintah akan membantu bank sehat yang mengalami kesulitan likuiditas,
sedangkan bank yang ”sakit” akan dimerger atau dilikuidasi. Belakangan,
kredit ini disebut bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Kasus KLBI terus bergulir. KPK pada 2009 membentuk empat tim khusus
untuk menyelesaikan kasus BLBI yang sebelumnya ditangani oleh Kejaksaan
Agung. Tim bertugas meneliti kasus BLBI yang telah dilimpahkan ke
Departemen Keuangan (Depkeu) dan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).
Penyelesaian melalui PUPN sesuai dengan Kepmenkeu No.184/KMK.06/2008
tanggal 8 Juli 2008 tentang Prosedur Operasi Standar Tim Bersama
Penanganan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.
Salah satu tim bertugas menangani perkara yang dihentikan kejaksaan
karena telah menerima SKL, termasuk kasus Sjamsul Nursalim yaitu mantan
pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang mempunyai
utang sebesar Rp28,4 triliun.
Berdasarkan hasil pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham
(PKPS) oleh Badan Pemeriksa Keuangan, nilai penjualan dari aset Salim
yang diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk
penyelesaian BLBI ternyata hanya 36,7 persen atau sebesar Rp19,38
triliun dari Rp52,72 triliun yang harus dibayar.
Saat diperiksa di Kejaksaan pada 2007, Kwik mengatakan bahwa
mekanisme penerbitan SKL Presiden Megawati berdasarkan Inpres No 8 Tahun
2002 mendapat masukan dari mantan Menteri Keuangan Boediono, Menko
Perekonomian Dorodjatun Kuntjaradjakti, dan Menteri BUMN Laksamana
Sukardi.
Saat itu, Kwik mengaku dalam setiap rapat kabinet ia selalu memprotes
rencana penerbitan SKL tapi kalah dengan meteri lain. Alasannya menolak
penerbitan SKL adalah karena ada campur tangan International Monetary
Fund (IMF) terkait penyelesaian BLBI sehingga berdampak pada proses
penjualan aset bekas pengutang BLBI yang tergesa-gesa, bahkan tanpa
tender, misalnya, kejanggalan penjualan Bank BCA pada 2004.
Kwik juga mengatakan, penjualan BCA disebabkan Salim tidak mampu
melunasi BLBI Rp53 triliun, BCA termasuk salah satu dari 108 aset Salim
yang diserahkan yang saat dijual hanya laku Rp20 triliun karena proses
penjualan BCA lebih banyak ditekan IMF.
Proses penjualan dilaksanakan tanpa tender dan calon pembeli BCA
sudah ditunjuk yaitu lembaga keuangan Farallon dan Standard charter
padahal selang tiga tahun kemudian aset BCA meningkat berkali-kali
lipat.
Ternyata penyelesaian kewajiban delapan obligor BLBI dengan pola Akta
Pengakuan Utang dinilai lambat. Sampai tahun 2009, baru beberapa
obligor yang menyelesaikan kewajibannya. Obligor Adisaputra dan James S
Januardy (PT Bank Namura Internusa) sudah melunasi seluruh utangnya,
Rp303 miliar pada Januari 2009.
Sementara, obligor Agus Anwar (PT Pelita Istimarat) diberi waktu
membayar utang Rp5 miliar paling lambat 31 Maret 2009 yang sisanya
dicicil selama 84 bulan. Untuk obligor Omar Putihrai (PT Bank Tamara)
dengan kewajiban Rp159,1 miliar, Depkeu ketika itu sudah mempersiapkan
pelaksanaan lelang agunan berupa saham.
Terhadap empat obligor lainnya, Ulung Bursa (PT Bank Lautan Berlian),
Marimutu Sinivasan (PT Bank Putera Multi Karsa), dan Lidya Mochtar (PT
Bank Tamara) dengan kewajiban masing-masing Rp424,65 miliar, Rp790,557
miliar, Rp159,1 miliar, Rp189,039, Depkeu mempersiapkan penyelesaian
asset settlement.
Selain di Depkeu, ada 16 obligor lain yang ditangani Polri dan
Kejagung. Tercatat tujuh kasus yang telah disidik Kejagung, yaitu kasus
Bank Deka, Bank Aken, Bank Centris, Bank Central Dagang, Bank Dewa
Rutji, Bank Arya Panduarta, dan Bank Pelita. Anehnya, Kejagung mengaku
kesulitan memperoleh dokumen pendukung.
Dari hasil itu, Kejagung menyarankan agar penyelesaian kewajiban
pemegang saham delapan obligor pemegang saham Bank Deka, Bank Centris,
Bank Pelita, Bank Central Dagang, Bank Dewa Rutji, Bank Arya Panduartha,
Bank Aken, dan Bank Orient dilaksanakan oleh Menteri Keuangan melalui
gugatan perdata.
Blog Ini Didukung Oleh :
0 comments:
Post a Comment