Petani Perempuan Rentan Kriminalisasi Akibat UU Pangan


Jakarta – Hasil revisi Undang-undang Pangan No.7 tahun 1996 bakal berdampak kriminalisasi terhadap petani karena membudidayakan benih lokal. Kasus ini terjadi di Indramayu, Jawa Barat.
“Kriminalisasi rentan dialami perempuan petani, yang 90% terlibat dalam proses pembudidayaan karena melanggar hak cipta, yang dikuatkan oleh UU No.12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman,” kata Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Wahidah Rustam di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, ancaman tersebut juga tercermin dalam UU Pangan yang baru disahkan, pada pasal 77 tentang rekayasa genetika. “Sistim rekayasa genetika mengancam keberlanjutan benih lokal yang dikelola oleh perempuan petani. UU pangan diarahkan ke industrialisasi dimana pemerintah melakukan penyeragaman bibit sehingga ada labelisasi," ujar dia.
Dia mengungkap, benih-benih tersebut, terutama padi, dikuasai oleh perusahaan transnasional yang diproduksi untuk industri besar sehingga masyarakat kalau mengembangkan benih tidak boleh karena tidak punya label. "Persoalan labelisasi atau standarisasi industri pangan akan meminggirkan industri rumahan yang belum mampu mengolah pangan,” tandas dia.
Persoalan lain yang dihadapi perempuan petani, sambung Wahidah, adalah semakin sempitnya ketersediaan lahan pertanian di Indonesia karena telah dialihfungsikan. "Berdasarkan hasil sensus lahan yang dilakukan oleh Kementan, lahan sawah pada 2010 susut menjadi 3,5 juta ha dari 4,1 juta ha pada 2007. Dalam rentang waktu tiga tahun, konversi lahan mencapai 600 ribu ha," kata dia.
Wahidah menegaskan, dengan situasi tersebut melihat ketersediaan pangan jelas akan semakin membuka impor dalam skala besar untuk memenuhi ketersediaan pangan Indonesia yang juga diakomodir dalam UU Pangan pada pasal 36 pengaturan impor pangan.
Ia menambahkan pengesahan UU Pangan tersebut semakin membuktikan kepentingan pasar dan melegitimasi perjanjian perdagan internasional, salah satunya Perjanjian Eropa-Asia yang akan dilakukan pada pertemuan ASEM (Asia-Europe Meeting) ke-9 di Laos pada November 2012. "Kerjasama ini akan memberikan peluang bagi produk pertanian Uni Eropa untuk lebih kompetitif di pasar Indonesia," kata dia.
Peningkatan ekspor Uni Eropa, kata dia, akan meningkat untuk produk susu, sereal, daging, gula dan pangan olahan karena biaya ekspor sebesar nol persen. Semuanya tentu akan berimbas terhadap produsen beras, jagung, gula, susu atau daging di Indonesia.
Karena itu, Solidaritas Perempuan menyatakan kekecewaan terhadap pengesahan Undang-Undang Perubahan atas UU Pangan No.7 tahun 1996 tentang pangan karena belum menjamin perlindungan pemenuhan dan penghormatan hak perempuan atas pangan.





Blog Ini Didukung Oleh :


0 comments:

Post a Comment