Money Politik Bukan Jaminan

 
Sekitar 32 tahun pemimpin orde baru memegang tampuk kekuasan, rakyat indonesia hidup dalam keterkungkungan, ketakutan dan penuh tekanan. Ruang gerak mereka di batasi sedemikian sitematis dan terorganisir. Demokrasi saat itu memang diterapkan, akan tetapi penerapannya tidak begitu optimal hanyalah sebatas bayang-bayang, sehingga di kenal dengan istilah demokrasi metasi.

Baru ada tiga partai pada saat orde baru yang di pilih langsung oleh rakyat, yaitu Golkar, PDI dan PPP. Akan tetapi setiap kali dilakukan pemilihan selama beberapa dekade, tetap saja PDI dan PPP tidak mampu untuk menyaingi suara Golkar yang pada saat itu di pegang oleh Single Fighter.

Tiga pelajaran penting, yang di peroleh rakyat Indonesia dalam bidang perpolitikan di masa orde baru. Baik dalam rangka pemenangan, ataupun untuk melanggengkan kekuasaan. Dan pelajaran itulah, yang sampai saat ini masih dikonsumsi, diadopsi, dan diamalkan oleh kalangan generasi bangsa sampai ke akar Rumput, mulai dari pemilihan Kepala Desa sampai pada pemilihan Presiden.

Yaitu: Money Politik, Politik Pencitraan, dan Politik Otoriter. Jadi, siapapun para politikus yang ingin mengikuti kontes kepemimpinan, dan apapun Latar belakangnya, hal itu tidak begitu di perhatikan oleh pemilih. Dan 90 Persen ada kemungkinan Menang, jika salah satu dari ketiga hal tesebut di Realisasikan. Memang, dalam ketiga hal tersebut tidak ada unsur pendidikan politik bersih terhadap generasi bangsa, yang ada hanya kebohongan dan tipu muslihat belaka.

Money Politik

Pada masa orde baru, money politik masih di gandrungi oleh kalangan masyarat menengah kebawah dalam pemilihan pemimpin. akan tetapi pasca reformasi, money politik secara perlahan mulai digeser keberadaanya, oleh Politik Pencitraan dan Politik Otoriter. Terkadang, pemilih hanya mengambil uangnya saja, dan belum tentu memilih. Ada juga pemilih yang murni, anti menerima uang dan memilih sesuai dengan hati nurani. Yang terjadi di Masyarakat menengah ke bawah saat ini, justru malah sebaliknya.

Berapapun janji manis yang sudah lontarkan oleh calon pemimpin, dan berapapun uang yang di berikan tim sukses, semua itu tidak akan mampu merubah konstruk pola pikir masyarakat saat ini, yang terlanjur mendambakan sosok pemimpin yang mampu terjun bebas dan menemui mereka secara langsung di lapangan.

Masyarakat menginginkan sosok pemimpin seperti SBY, dan mereka mendambakan sosok pemimpin seperti Jokowi saat ini. Jadi dalam pemilihan 2014 nanti, partai politik tidak asal comot untuk mengusung calon pemimpimpin. Tidak harus dari ketua umum partai, melainkan dari hasil seleksi alam. Apakah calon pemimpin yang di usung sudah memiliki kriterian seperti SBY dan Jokowi? Atau malah justru sebaliknya??.

Politik Pencitraan
Sikap elitis dan ala borjuis sudah tidak memiliki nilai tawar lagi di negeri ini. Secara perlahan mulai memudar keberadaannya, karena Masyarakat sudah sering kali tertipu oleh para politikus yang berpenampilan ala borjuis. Sekarang masyarakat sudah banyak mengetahu dan memahami, siapa yang harus menjadi pilihan mereka. Masih dalam hitungan jari, para calon pemimpin bangsa ini, yang mengimplementasikan politik pencitraan.

Padahal keberadaannya, sangat di dambakan oleh masyarakat di berbagai daerah. Walaupun ada sebagian masyarakat yang menilai, bahwa politik pencitraan identik dengan kemunafikan. Akan tetapi, tidak semua kemunafikan selalu di kaitkan dengan politik Pencitraan.

Pasca tumbangnya rezim orde baru 1998, Politik otoriter sangat di kecam oleh masyarakat Indonesia. Akan tetapi secara perlahan, politik otoriter saat ini sangat di minati oleh kalangan pemimpin di berbagai instansi. Terkadang penggunaannya tunggal, dan terkadang pula di gabungkan, antara Politik Pencitraan dan Politik Otoriter guna untuk mengelabuhi masyarakat pada umumnya.

Dan ini secara perlahan mulai tumbuh dan berkembang di beberapa daerah yang ada di wilayah Jawa Timur, baik yang ada di salah satu instansi pemerintahan, maupun yang ada di salah satu lembaga Perguruan Tinggi. Mengaplikasikan politik otoriter dan politik pencitraan, selain untuk melanggengkan kekuasaan juga bertujuan untuk mewariskan Tahta kekuasaan kepada siapun yang di kehendakinya.

Jika hal ini terus di biarkan, maka secara tidak langsung akan merambat ke daerah laennya. Dan pemerintahan pada rezim orde Baru akan terulang kembali. Padahal yang di inginkan oleh reformasi adalah demokrasi, sementara demokrasi di Indonesia sendiri, saat ini mulai di bungkus oleh oligarki. Mewujudkan keadilan dan kesejahteraan untuk bangsa ini, hanyalah slogan dan isapan jempol belaka.

Mungkin sebagian orang akan menilai bahwa, Money Politik, Politik Pencitraan, dan Politik Otoriter seluruhnya merupakan Politik buruk yang tidak harus kita implementasikan di masyarakat. Karena money politik sendiri,  sudah dicitrakan sebagai suap dan tindakan kriminal, politik pencitraan identik dengan kebohongan dan kemunafikan, sementara politik otoriter adalah merupakan kejahatan kemanusiaan.

Pada masa orde baru, sebagian rakyat Indonesia memilih bukan atas dasar hati nurani, melainkan atas faktor kebutuhan ekonomi. Karena pada saat itu kemiskinan merata di Indonesia. Sehingga menjadikan uang di atas segala-galanya. Tak ayal, jika pada saat itu money politik merajalela dan di minati oleh masyarakakat. Sementara pada saat ini, zaman telah berubah dan konstruk pemikiran masyarakat juga ikut berubah.

Real Action
Perlu ada langkah kongkrit dari pemerintah, untuk meminimalisir lahirnya para pelacur-pelacur politik di negeri ini. Semisal diadakannya UU yang betul-betul mengatur larangan kepemimpinan monarki disegala line, siapapun para pejabat yang sedang memegang kekuasaan tertinggi tidak dapat mencalonkan isteri, anak, atau kerabat dekat laennya. Dan Penguasa tersebut juga tidak dapat mencalonkan sebagai wakil. Sementara UU saat ini di nilai tidak mampu memberikan perubahan.

Di situ hanya mengatur Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, Kepala Desa yang sudah dua priode menjabat, intinya tidak dapat mencalonkan lagi. Hal inilah, yang terkadang memicu terjadinya Money Politik, Politik Pencitraan Politik Otoriter.  Peranan Masyarakatpun juga penting, sebagai penguasa tertinggi dalam negara demokrasi untuk membendung semua itu

Blog Ini Didukung Oleh :

0 comments:

Post a Comment