KPK Bertekad Miskinkan Koruptor


Upaya memiskinkan koruptor bakal terus dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hukuman badan dinilai tidak akan cukup untuk memberikan efek jera. Karena itu, terobosan untuk menggunakan pasal-pasal yang bisa mengembalikan uang negara terus dilanjutkan.


Juru Bicara KPK Johan Budi S.P. mengatakan, sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Menentang Korupsi Tahun 2003 yang telah diratifikasi Indonesia, penyitaan hasil kejahatan merupakan salah satu upaya penting dalam pemberantasan korupsi. ”Ketentuan itu sudah diratifikasi melalui UU No 7 Tahun 2006,” ujar Johan kemarin.


Terobosan hukum KPK adalah penggunaan pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur pembayaran uang pengganti dan penyitaan hasil korupsi. Pasal itu biasa digunakan untuk kasus korupsi yang mengakibatkan kerugian negara secara langsung. Namun, pasal tersebut tidak lazim digunakan untuk dakwaan korupsi yang berupa penerimaan suap.

KPK pernah menggunakan pasal itu pada kasus hakim suap Syarifuddin. Namun, komisi antirasuah tersebut tidak bisa menyita uang dolar Singapura senilai Rp2 miliar karena hakim beranggapan tidak ada uang negara yang digunakan Syarifuddin.

Jaksa KPK kembali mengenakan pasal tersebut kepada terdakwa penerima suap yang terkait dengan pengurusan anggaran di Kemendiknas dan Kemenpora Angelina Patricia Pingkan Sondakh. Angie, sapaan Angelina, diminta membayar uang pengganti senilai dengan uang suap yang diterima, yakni Rp12,5 miliar dan USD 2,35 juta atau senilai total Rp34 miliar.

Jaksa beranggapan bahwa suap yang diterima Angie dari Grup Permai berasal dari uang negara yang menjadi fee atas pengurusan anggaran di Kemendiknas dan Kemenpora. KPK mengharapkan hakim bisa berpendapat sama. ”Tentu kami serahkan ke hakim, sejauh mana penerapan pasal 18 itu yang tepat berdasar bukti-bukti yang telah disampaikan,” ujar Johan.

KPK juga akan menggunakan pasal itu kepada para tersangka korupsi lainnya. Salah satunya adalah tersangka korupsi pengadaan simulator SIM Irjen Pol Djoko Susilo. ”Itu mungkin saja dilakukan,” ujarnya.

Untuk penggunaan pasal 18 tersebut dalam dakwaan nonsuap, KPK telah beberapa kali sukses. Yang terbaru adalah kasus korupsi alat kesehatan di Kemenkes dengan terdakwa Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan Rustam Pakaya. Selain divonis empat tahun penjara, Rustam diminta membayar uang pengganti sebesar uang negara yang dikorupsi, yakni Rp2,47 miliar.

Bukan hanya Rustam yang terjerat pasal itu. Terhadap sejumlah pihak yang dibuktikan oleh hakim turut menikmati hasil korupsi meskipun tidak ikut didakwa, juga dilakukan penyitaan harta. Salah satunya adalah mantan Menkes Siti Fadilah Supari. Dia diminta mengembalikan uang hasil korupsi senilai Rp1,27 miliar.

Praktisi hukum yang juga pengacara Angelina Sondakh, Teuku Nasrullah, mengatakan pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor tidak bisa digunakan pada semua delik korupsi. Menurut dia, perampasan harta tidak bisa dilakukan untuk dakwaan suap.

Menurut Nasrullah, pasal 18 hanya bisa dikenakan untuk tindak pidana korupsi yang langsung mengakibatkan kerugian negara. "Kalau perampasan itu harus ada kerugian negara yang diakibatkan," kata Nasrullah.

 Menurut Nasrullah, perampasan harta juga harus memperhatikan kurun waktu dakwaan tindak pidana. Jika harta yang dimiliki diperoleh sebelum masa korupsi yang didakwakan, perampasan harta juga tidak bisa dilakukan.
"Harus diperhatikan merujuk kapan. Jika sebelum tindak pidana, tidak bisa dikenakan," ujarnya.

Sumber



Blog Ini Didukung Oleh :


0 comments:

Post a Comment