Pendidikan Politik, Untuk Pemilih Atau Yang Dipilih?



Landasan Hukum Pemilu

UU 8/2012 tentang “Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,  Dan Dewan Perwakilan  Rakyat Daerah”, berlaku sejak 11 Mei 2012, sedemikian rinci sehingga terdiri atas 328 pasal.
Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu, dilakukan dalam bentuk antara lain pendidikan politik bagi Pemilih, wajib mengikuti ketentuan yang diatur oleh KPU.  (Pasal 246 dan 247). Pendidikan politik bagi Pemilih, tidak dirinci apa maksud, makna, manfaat, dan tata caranya. Kondisi ini senasib dengan faktor pertimbangan penetapan UU yaitu untuk menghasilkan wakil rakyat yang aspiratif, berkualitas, dan bertanggung jawab berdasarkan Pancasila dan UUD1945.

Persyaratan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota (Pasal 51 UU 8/2012) tidak mengindikasikan syarat menuju kualifikasi aspiratif, berkualitas, dan bertanggung jawab.

Fenomena Golput


Fenomena golongan putih (golput), secara tak langsung menyiratkan bahwa pemilih telah cerdas politik,sudah bisa membaca mana yang layak dipercaya atau sebaliknya. Memilih diawali dengan memilah dari daftar bakal calon wakil rakyat, untuk mencari yang termungkin dari yang serba mungkin.
Aspirasi politik anak bangsa tidak bisa dikekang, didikte, dimanipulasi, apalagi dituduh tidak dewasa politik jika golput, sejalan proses demokratisisasi di segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Golput bukannya tidak mendukung program pemerintah, bukannya anti politik, bukan tidak menghargai biaya politik, apalagi masuk aliran sesat secara politis. Golput bersifat perorangan, tetapi bisa muncul nyaris merata di wilayah daerah pilihan berdasarkan akumulasi TPS. Golput sebagai realita asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Golput jujur terhadap dirinya sendiri, andai pilihannya salah, akan menyesal selama lima tahun!

Jumlah atau persentase golput terkadang cukup signifikan, bahkan bisa mengalahkan perolehan suara parpol parlemen, namun tidak bisa melakukan oposisi secara masal. Secara individu tidak mungkin berbuat anarkis, menjadi pecundang, menggerogoti bahtera pemerintah dari dalam, menjegal kebijakan pemerintah, apalagi menyuarakan hati nurani dan opini liwat media massa.

Buta Politik

Pendidikan politik ditujukan pada yang melek politik, agar tidak menyimpang secara sadar, terstruktur, masif, berkelanjutan. Masyarakat buta politik biasanya adem ayem, sepi ing pamrih rame ing gawe.

Lepas dari kondisi aktual dan faktual yang menimpa para wakil rakyat selama era Reformasi, selain kontrak politik, dibutuhkan juga pendidikan politik. Justru karena tidak buta politik, para wakil rakyat bisa bergerak bebas di antara pasal-pasal hukum, bermanuver layaknya pembalap liar, memanfaatkan kelengahan sistem di eksekutif.

Bagaimana nasib para caleg (calon legislatif) yang tidak lolos suara untuk meraih kursi parlemen? Ironis memang, caleg lebih siap menang ketimbang siap kalah. Bahkan mereka sudah berani mimpi masuk Komisi yang basah. Sudah kalah tertimpa masalah, besarnya beban moral, finansial, material bahkan rasa malu di masyarakat menjadikan banyak caleg menjadi stres.

Blog Ini Didukung Oleh :

0 comments:

Post a Comment