Pendidikan Hukum bagi Rakyat
Belakangan
ini, kriminalisasi terhadap rakyat kecil, baik orang miskin maupun
anak-anak, terus terjadi. Penegakan hukum terus mendapat kritik. Hukum
seperti tidak berkeadilan, tidak prorakyat. Lepas dari substansi hukum
yang memang domain aparat penegak hukum, terdapat hal yang dilupakan
orang, yakni pendidikan hukum bagi rakyat. Padahal pendidikan hukum bagi
rakyat sangat diperlukan sebelum hukum ditegakkan.
Di
kalangan masyarakat bawah, mencari kayu bakar di ladang orang lain atau
buah-buahan di perkebunan milik tetangga sudah menjadi kebiasaan
turun-temurun. Namun, ketika kawasan tersebut kemudian berubah
kepemilikan menjadi perkebunan modern dan dijaga satuan keamanan, tidak
pernah ada penjelasan memadai ke masyarakat. Akibatnya, banyak warga
miskin berbenturan dengan aparat penegak hukum karena ketidaktahuan.
Di
desa, aktivitas mengambil buah, rumput, atau kayu bakar milik orang
lain cukup dengan meminta sambil menyebut pemilik sekalipun pemiliknya
tidak ada di tempat. Lantas dijawab sendiri. Namun kebiasaan yang
berlangsung bertahun-tahun itu dapat menjadi kriminal ketika ada
sebagian warga yang tidak terbiasa dengan kebiasaan tersebut, lalu
melaporkan kepada aparat. Sementara itu, warga miskin yang menganggap
mencuri tidak seberapa, bagi mereka "yang tidak terbiasa" tadi
memandangnya sebagai kejahatan dan wajib diadili.
Kriminalisasi
rakyat kecil itu tidak akan berubah menjadi pendidikan hukum bagi
masyarakat atau menumbuhkan efek jera karena terdapat ketimpangan hukum.
Di kalangan bawah, terdapat gugatan mereka yang mencuri uang miliaran
tidak tersentuh hukum, sementara pencuri kayu bakar, buah mangga, dan
kakao dijebloskan ke dalam jeruji besi. Kita mendeklarasikan diri
sebagai negara hukum, dan itu menjadi slogan yang terus-menerus
digaungkan.
Artinya,
siapa yang bersalah harus dihukum. Namun yang kerap dilupakan orang
adalah tidak tersedianya wadah atau mekanisme mendidik rakyat agar kian
sadar hukum. Mereka yang berasal dari kelas menengah dan berpendidikan
cukup pun sering melanggar hukum, apalagi rakyat kecil. Ironi dan
persoalannya adalah apakah adil ketika hukum itu dikenakan pada rakyat
kecil padahal mereka tidak paham yang dilanggar dan tidak tahu
konsekuensinya?
Pendidikan
hukum bagi rakyat tidak pernah menjadi prioritas. Negara lebih suka
menghukum orang dengan mekanisme penegakan hukum dan melupakan mendidik
rakyat agar sadar dan melek hukum. Contoh buruknya pendidikan hukum
untuk rakyat adalah sosialisasi undang-undang dan peraturan tidak sampai
menyentuh masyarakat paling bawah. Bagi masyarakat, informasi mengenai
terbitnya undang-undang baru tidaklah memadai.
Padahal,
rakyat yang lugu di desa-desa juga terikat undang-undang itu, dan akan
dikenai pasal-pasal sanksi kalau melanggar. Tentu saja ini menjadi
kritik bagi negara agar membuat rakyat kian melek dan sadar hukum. Sadar
hukum tidak sekadar bahwa mereka yang bersalah harus dihukum, melainkan
tindakan preventif perlu dilakukan agar hukum benar-benar tajam untuk
semua orang. Mereka yang berpendidikan dan memilliki kekuasaan dapat
berkelit atau menyiasati hukum.
Tapi
tidak demikian dengan rakyat kebanyakan. Mereka tetap akan berpendapat
bahwa hukum cenderung menyengsarakan, bahkan mematikan kehidupan
sehari-hari. Ke depan, negara harus mengambil inisiatif untuk memberi
pendidikan sadar hukum bagi rakyat. Hidupkan kembali model-model
keluarga sadar hukum (kadarkum). Penyuluhan hukum harus menyentuh
lapisan masyarakat yang paling bawah. Selama ini kita mengenal
penyuluhan gizi, kesehatan, usaha kecil, mengapa tidak dengan penyuluhan
hukum?
Selama
ini kita juga mengenal kader-kader kesehatan, mengapa kita tidak punya
kader-kader penegak hukum di lapisan bawah, yang bertanggung jawab
menjelaskan masalahmasalah yuridis kepada masyarakat? Terdapat kesan
bahwa aparat penegak hukum lebih suka menunggu bola dan tidak mau
menjemput bola dengan mendidik masyarakat. Mereka lebih suka didatangi
orangorang bermasalah hukum alih-alih menyadarkan mengenai hakikat hukum
itu sendiri dan konsekuensi apabila melanggar.
Mencuatnya
kasus-kasus kriminal anak yang mencuri sandal atau menjambret uang
1.000 rupiah bukan semata-mata persoalan hukum yang tidak adil, tetapi
juga perlu ditanya cara orang tua, masyarakat, dan sekolah dalam
mendidik anak tersebut. Sekolah, perguruan tinggi, dan pemimpin agama
harus mengambil bagian dalam mendidik rakyat agar kian sadar hukum.
Bukan sekadar menghukum yang bersalah, hukum harus menjadi norma etik
yang dipatuhi agar masyarakat berjalan sesuai tata krama kehidupan.
Dalam
titik ini, diperlukan kearifan semua pihak untuk menempatkan
persoalan-persoalan hukum bukan semata-mata pelanggaran, melainkan harus
ada upaya preventif dan promotif untuk memperkuat di sisi pencegahan
agar orang tidak terjerumus. Selain itu, memperkuat sisi rehabilitatif
agar mereka yang bermasalah secara hukum tidak justru menjadi
"inspirator" orang lain untuk melakukan tindak kejahatan yang sama.
Semoga.
Sumber
Blog Ini Didukung Oleh :
0 comments:
Post a Comment