Minyak Bumi sebagai Alat Diplomasi


Energi sebagai alat diplomasi, terutama minyak bumi, telah dijalankan sejak lama. Bukan saja oleh kelompok negara dengan perusahaan-perusahaan minyak raksasa, tetapi juga oleh kelompok negara penghasil minyak. Kelompok pertama berusaha menguras minyak sebesar-besarnya dengan harga murah, sementara kelompok yang kedua menghendaki harga minyak tinggi sesuai dengan komoditas industri. Produksi minyak harus terkendali dan minyak harus menjadi milik negara penghasil minyak.
Hubungan diplomasi tersebut diperlihatkan oleh lima negara pendiri Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC), yaitu Arab Saudi, Kuwait, Irak, Iran, dan Venezuela, guna memperjuangkan nasib mereka sebagai negara penghasil minyak. Sebelum OPEC berdiri, negara-negara tersebut seolah tidak berdaya sebab semua usaha minyak dari eksplorasi hingga pemasarannya dikelola oleh perusahaan asing. Artinya, perusahaan minyak asing secara tidak langsung memberi sumbangan kepada negara induk dengan harga minyak murah dan jumlah berlimpah, memberi kesempatan pada industri untuk bertumbuh suburnya.

Tetapi setelah OPEC terbentuk pada September 1960 dan kemudian berkembang maju, kekuatan perusahaan minyak asing mulai terdesak. Mereka tidak mampu lagi mempermainkan harga minyak, atau memaksa negara penghasil minyak untuk meningkatkan produksi. Keadaaan ini membuat cemas negara-negara maju, terutama yang sangat tergantung pada minyak bumi impor. Namun di sisi lain, ini menimbulkan dampak terhadap tingkat ketersediaan energi dunia yang semakin kritis. Oleh karena itu, berbagai usaha mencari sumber-sumber minyak di luar OPEC terus dikembangkan, begitupun energi lainnya.

Pengaruhi Politik

Jika minyak bumi masih menjadi sumber energi utama, sudah dapat diramalkan bahwa ketergantungan negara industri terhadap negara OPEC akan semakin besar. Tidak heran, jika keamanan di negara-negara Timur Tengah selalu dihantui oleh bencana peperangan antar negara penghasil minyak karena komoditas itu merupakan kunci bagi industri. Akhirnya, energi berkembang menjadi kekuatan tersendiri, dan dapat dijadikan alat untuk memengaruhi ekonomi dan moneter juga politik.

Masing-masing anggota OPEC mempunyai kepentingan nasional dan selera kebijakan politik dan ekonomi sendiri. Walaupun begitu, itu tidak menjadi masalah asalkan tuntutan untuk memperoleh hasil minyak yang wajar secara terwujud. Ini berarti masalah dalam OPEC yang mewarnai perbedaan politik masing-masing anggota benar-benar sangat berpengaruh. Ini terbukti dengan adanya peperangan antara Iran dan Irak, bahkan adanya kelompok di Arab Saudi yang malah memihak Irak.

Maka dapat dilihat, bahwa minyak OPEC bukan sekadar urusan minyak saja. Urusan OPEC bukan hanya urusan pengusahaan atau usaha dagang minyak saja, tanpa memperhatikan kepentingan politik serta keamanan sesama anggota. Apalagi jika diingat struktur politik di negara-negara anggota yang berlainan. Ini terlihat dari berbagai bentuk pemerintahan seperti kerajaan, republik, dan sebagainya. Meskipun begitu, perjuangan OPEC hingga kini masih terbatas pada masalah perdagangan minyak. Tetapi, dalam hal kepentingan untuk memperoleh dukungan perjuangan dari kelompok negara berkembang lainnya yang non-OPEC, kini OPEC mulai melangkah maju.

OPEC bukan saja bersedia memberikan bantuan berupa dana, bantuan pengadaan minyak bagi negara berkembang non-OPEC, mereka juga berusaha mengkaitkan dengan sektor-sektor lainnya yang menjadi masalah-masalah pokok dalam penciptaan tatanan perekonomian dunia. Hal ini mengingatkan OPEC bahwa mereka perlu dukungan dari kelompok negara berkembang non-penghasil minyak, terutama dalam menghadapi masalah inflasi dunia yang mengancam penerimaan negara, masalah dana yang tersimpan di negara-negara industri, serta masalah lembaga-lembaga keuangan dunia yang banyak kaitannya dengan dana OPEC dari kelompok negara kaya.

Diharapkan OPEC yang menguasai minyak bumi dunia dapat memanfaatkan kekuatannya sebagai alat diplomasi yang ampuh. Ini dibuktikan saat OPEC tidak mau berdialog dengan kelompok negara maju atau industri jika hanya berpangkal pada masalah pengadaan dan harga minyak dunia saja. OPEC menghendaki pembicaraan lebih menyeluruh, mencakup beberapa sektor utama yang menjadi masalah pokok bagi perekonomian dunia.

Sebab, bicara masalah energi, terutama minyak, ini harus dikaitkan dengan masalah nasib bahan mentah, sistem perdagangan dunia, ekonomi, dan keuangan dunia, lembaga-lembaga moneter dunia, masalah dana serta pembangunan dan lain-lain.

Beralih ke Energi Non-Minyak

Setelah perang di Timur Tengah pada Oktober 1973, kontak tidak saja terjadi antara negara penghasil minyak dan perusahaan minyak raksasa, tetapi negara induk mereka selalu ikut ambil bagian. Misalnya, usaha Pemerintah Amerika Serikat yang sering melakukan kontrak-kontrak diplomasi dengan beberapa negara OPEC, terutama yang pro dengannya. Bagi negara berkembang, sungguh berat masalahnya untuk menghilangkan perkiraan bahwa impor minyak akan beralih pada impor energi non-minyak. Masalah  terbesarnya adalah apabila berbagai alat-alat atau mesin-mesin atau kendaraan-kendaraan digerakkan dengan energi non-minyak.

Ini karena mereka tidak saja harus mengimpor unit-unit pembangkit energi non-minyak, namun suku cadangnya pun harus diimpor mengingat sulitnya diramalkan kemajuan negara berkembang secara cepat menyamai negara-negara maju. Sulit untuk diramalkan secara tepat bahwa pada 2000 atau lebih, peran minyak akan berakhir. Padahal diperkirakan, hingga 2020, kebutuhan minyak bumi tumbuh rata-rata 2,6-3,3 persen. Maka peran minyak bumi begitu kuat. Tetapi permasalahannya terletak pada:
  • Tingkat produksi yang juga ditentukan dengan cadangan minyak itu sendiri yang hampir tiap tahun berubah (bertambah atau berkurang).
  • Perkembangan penggunaan minyak bumi untuk waktu mendatang apakah dapat terkendali atau tidak.
  • Masalah harga minyak yang sangat menentukan cepat atau lambatnya kemunculan berbagai sumber energi lain sebagai energi komersial.
  • Masalah keamanan serta politik internasional yang akan memengaruhi OPEC. Ini banyak sekali kaitannya dengan hubungan atau normalisasi antara negara-negara OPEC itu sendiri, antara OPEC dengan negara-negara pengimpor minyak, terutama negara-negara maju atau industri.
Hal ini tercermin pada fakta bahwa negara-negara industri Eropa yang pada mulanya tergabung dalam Organization for European Economic Co-Operation (OEEC) kemudian berkembang dengan terlibatnya Amerika Serikat dan Kanada. Pada 14 Desember 1960, OEEC berubah menjadi Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Tujuan organisasi ini adalah mengusahakan kerjasama anggota untuk kepentingan yang menyangkut ekonomi termasuk pula usaha perluasan perdagangan yang multilateral tanpa diskriminasi dan menyangkut masalah kestabilan keuangan.

Dengan demikian, sudah dapat dipastikan bahwa masalah energi, terutama minyak bumi juga menjadi masalah pembicaraan dalam kontak-kontak diplomasi antar negara OECD. Tindakan sepihak dari perusahaan minyak raksasa yang berasal dari negara-negara industri telah membangkitkan semangat membela kepentingan bersama antara negara penghasil minyak yang pada umumnya telah terikat dengan sistem konsesi dengan perusahaan minyak raksasa.

Kemajuan OPEC


Secara umum, ada sejumlah kemajuan yang dicapai OPEC setelah terjadinya perang Oktober 1973.
  • Negara kelompok Arab berhasil menaikkan persentase royalti dan pajak pendapatan atas minyak setinggi mungkin.
  • Negara OPEC berhasil ikut dalam partisipasi dalam perusahaan minyak. Perusahaan yang masih berusaha mendapatkan minyak di negara penghasil minyak berangsur-angsur menjadi milik tersebut. Bahkan, periode pengalihan perusahaan minyak asing ke perusahaan nasional (NOC) negara OPEC ada yang dipercepat.
  • Keberhasilan negara OPEC dalam menasionalisasi dan membeli perusahaan-perusahaan minyak asing yang masih berada di negara OPEC.
  • Secara berangsur-angsur anggota OPEC berhasil mengalihkan manajemen perusahaan minyak asing ke tangan nasional. Ini sekaligus terjadi pengalihan teknologi keahlian dalam usaha mencari minyak termasuk pemasarannya.
  • Dengan kembalinya minyak ke NOC, maka diharapkan hasil dari minyak untuk kepentingan pembangunan nasional masing-masing negara OPEC semakin berhasil.
  • OPEC berhasil mengubah kebijakan dalam peraturan konsesi menjadi usaha joint venture, bahkan seratus persen menjadi milik negara.
  • OPEC semakin mendapatkan tempat di kalangan negara maju dan berkembang, karena kekuatan minyak buminya.
  • OPEC tidak lagi didikte oleh negara-negara industri dalam penentuan jumlah minyak yang harus diproduksi, serta dalam penentuan harga minyak OPEC tidak terlalu tinggi. Sebaliknya, OPEC dapat mendikte negara industri agar jangan memboroskan penggunaan minyak bumi sebagai sumber energi. Jika mereka membutuhkan minyak OPEC, mereka harus bersedia menjual berbagai rupa peralatan industri, bahkan kebutuhan pertahanan atau militer dan sebagainya.
Sumber

Blog Ini Didukung Oleh :

0 comments:

Post a Comment