Salah Kaprah Politik Pendidikan


“Politik adalah Pendidikan, dan Pendidikan adalah Politik.” (John Dewey)

Pendidikan dan kehidupan sosial-politik bak dua mata koin yang tidak dapat dipisahkan, baik secara sistem, filosofi, maupun teknisnya. Bagaimanapun kondisi pendidikan senantiasa ditentukan atas kebijakan politik, misalnya mengenai undang-undang dan pengamalannya, anggaran dan distribusinya, kurikulum dan implementasinya, hingga guru dan teknis pengajarannya. Secara sosiologis dunia pendidikan akan selalu berjalan seiring perkembangan dinamika politik.

Dalam konteks Politik Pendidikan Indonesia, secara historis dimulai dari zaman perjuangan kemerdekaan hingga awal kemerdekaan yang ditandai munculnya beberapa tokoh pergerakan yang juga bervisi memajukan pendidikan masyarakat pribumi sebagai modal dasar mencapai kemerdekaan dan menaikkan harkat-martabat bangsa, diantaranya DR. Wahidin S, dan KH. Ahmad Dahlan,  Demikian pula Ki Hajar Dewantara dalam kemasan filosofisnya mengenai pendidikan, Tut Wuri Handayani.

Uniknya, di era sistem parlementer hingga akhir orde baru, sejarah mencatatkan beberapa titik pergolakan politik nasional yang justru mengesampingkan peranan pendidikan, perebutan kekuasaan oleh politisi berpandangan hedonis tidak lagi memandang pendidikan sebagai komoditas yang menguntungkan secara finansial, terbukti dengan dikesampingkannya kementerian pendidikan dibandingkan kementerian lainnya yang lebih bergengsi. Tak pelak hal ini berefek pula pada kondisi pendidikan, betapa susahnya waktu itu dunia pendidikan kita. Sepeda onthel butut pak guru Oemar bakri lah yang menjadi saksi sejarah kondisi pendidikan kita kala itu.

Sekarang zaman sudah berubah, memasuki era reformasi hingga hari ini, politik pendidikan kian marak, namun tidak menunjukkan perkembangan secara signifikan dari segi kualitas dalam pengabdiannya. Ironisnya politik pendidikan disalahartikan oleh sebagian politisi sebagai komoditas yang meguntungkan dalam mendulang keuntungan diri dan kelompok, beberapa sektor strategis dunia pendidikan telah dipolitisasi, sebagai contoh teknis evaluasi UN yang banyak dijadikan senjata ampuh untuk kampanye PILKADA – “mau lulus 100 persen pilih gue”, pencekokan guru-guru PNS pun tak jarang jadi korban politisi didaerah – “gak milih gue lu gue mutasi”, kepala sekolah yang ketakutan sama kadisnya – “kalau gak menang gue copot lu”.  Tak bisa dipungkiri Sekolah menjadi bassis massa partai tertentu.

Secara sistempun tak ketinggalan, gonta-ganti kurikulum menjadi proyek yang menguntungkan bagi kelompok tertentu (pemangku kebijakan dan pemenang tender), perubahan itu pasti, tapi mengapa harus dibarengi oleh perubahan partai penguasa?. disusul persoalan undang-undang yang berkenaan dengan penyelenggaran pendidikan yang menjadi “payung” hukum sistem pembiayaan dan bentuk pengelolaan (nasional/internasional) yang dinilai tidak pro-rakyat. Maka wajar isu-isu Swastanisasi, Privatisasi, Kontaminasi, dan Diskriminasi oleh lembaga pendidikan (sekolah/Perguruan tinggi) terus bermunculan dikalangan masyarakat yang diinisiasi oleh para pengamat pendidikan, Ormas-ormas, Aliansi guru, hingga aktivis mahasiswa.

Sumber
Blog Ini Didukung Oleh :


0 comments:

Post a Comment